Feeds:
Posts
Comments

Latar belakang.

Sistim Politik sebagai dasar dari tujuan yang diajukan oleh manusia dalam komunitasnya memiliki konsekuensi yang harus diterima apabila sistim itu tidak bisa diterapkan dalam suatu negara, yakni sistim tersebut tersingkirkan dan digunakan sistim yang lebih layak. Maka hal ini sejalan dengan pemikiran para kaum falsifikasionis tentang falsifikasi. Metode atau teori yang dianggap gagal dalam proses pengujian diharuskan teralienasi dalam masyarakat. Memang selama ini ilmu tentang falsifiaksi yang diajukan oleh para kaum falsifikasi terus menerus tertuang dalam ilmu alam (sciense), tetapi bukan berarti dengan ilmu sosial humaniora tidak berlaku dalam falsifikasionis. Hal ini terlihat dari suatu sistim politik yang berlangsung saat ini.

Sistem politik yang diajukan oleh epikuros mengenai utilitarianisme (keber-manfaatan) pada zamannya dapat diterima. Tetapi seiring perkembangan zaman, dengan berbagai argument mengenai sistim politik oleh para ahli dalam bidang politik (entah itu seorang filsuf, pakar politik, pemerhati sejarah), konsep politik yang berfondasikan kesenangan ini tidak bisa diterapkan atau diberlakukan lagi pada suatu negara, mengapa? Hal ini berkaitan dengan moto dari utility ini, yakni ‘the great happiness of the greatest number’ atau kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak akan menghilangkan suara minoritas.

Secara hukum, moral keadaan manusia harus terpenuhi apabila kita telah keluar dari fase ‘kodrat alam’. Secara tidak langsung, setelah kita masuk dalam suatu negara dengan memiliki sistim politik yang dijadikan sebagai cita-cita bersama, disitu telah terjadi suatu ikatan antara pihak negara dan masyarakat. Maka berbagai bentuk suara masyarakat—tak peduli itu beda kulit, agama, suku-suku harus diperdengarkan dan dirayakan dalam teritori negara. Hal inilah yang menjadi landasan bagi para pemikir politik atau para filsuf politik mengadakan berbagai percobaan demi menelurkan suatu formulasi sistim politik yang bisa digunakan oleh suatu negara dengan memaksimalkan kesamaan kesempatan dan suara. Maka meretaslah sistim persamaan liberal, yakni cikal bakal dari libertarianisme.

Pada titik ini, para peneliti menjalin kesepakatan secara tidak langsung mengenai sistim negara yang ideal. Dalam utility kebebasan individu bisa mengalami ‘kahilangan’, disebabkan ada suara minoritas yang terkorbankan demi menghasilkan kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak. Apakah hal seperti ini layak digunakan dalam sistim pemerintahan? Apabila terlalu berharap banyak pada prinsip seperti ini, negara akan kehilangan unsur terpenting dalam syarat berdirinya suatu negara, yakni akan kehilangan masyarakat. Maka untuk menghindari hal yang demikian sistim Persamaan Liberal patut dimunculkan dalam permukaan. Suara-suara minorotas yang hilang dalam sistim politik utility bisa dirayakan demi terciptanya negara yang adil pada masyarakatnya.

Maka lahirlah apa yang dinamakan sistim persamaan liberal. Masyarakat berhak menyuarakan apa yang menjadi basis keinginan mereka, suara-suara minoritas dirayakan. Sedangkan negara menampung suara-suara tersebut. Pada kordinat inilah persamaan liberal melakukan berbagai kampanya, dan masyarakatpun mengamini hal yang demikian. Lahirlah apa yang dinamakan sistim liberal.

Tetapi pada kenyataan saat ini masyarakat cenderung menggunakan sistim demokrasi. Tetapi bila kita merujuk lebih dalam, sistim demokrasi yang dianut saat ini adalah sistim demokrasi partisipatoris yang berujung demokrasi mayoritas tirani. Tetapi sayangnya demokrasi seperti ini kembali lagi pada konsep Epikuros, yakni menggunakan suara terbanyak untuk mengambil suatu keputusan. Ada suara yang dikorbankan lagi-lagi. Tetapi inilah yang paling ideal untuk sistim politik saat ini disuatu negara. Kebulatan suara dengan mengangkat suara minoritas lagi-lagi gagal. Maka bila kita lihat lebih jauh kedepan, sistim liberal yang diajukan sebagai penyempurna dari teori teori utility ini akan kembali pada sistim utility.

Sehingga apa benar suatu sistim pemerintahan yang telah mengalami berbagai pembenaran dan layak digunakan suatu negara bisa digunakan selamanya? Dan apakah sistim yang lama, yang telah mengalami pembaharuan akan tidak terpakai dalam masyarakat? Dimana tidak selamanya konsep yang telah dimodifikasi dan diperbaiki kesalahannya dari konsep terdahulu bisa bertahan dalam masyarakat. Mengapa terjadi hal yang demikian? Karena implementasi dari dibentuknya sistim politik adalah untuk kesejahtraan masyarakat. Sehingga layak atau tidaknya suatu teori atau sistim bukan hanya dikonfirmasi oleh para pemikir, tetapi masyarakat berperan besar dalam ranah politik untuk merealisasikan sistim apa yang baik untuk digunakan.

Hal-hal yang telah terkonfirmasi terkadang membutuhkan latar belakang dalam pembentukan suatu teori. Maka sejarah menjadi suatu momok dalam falsifikasi. Derajat kegunaan tidak bisa lepas dari historisitas masyarakat. Maka apabila masyarakat belum siap menerima sistim politik yang telah dimodifikasi – baca persamaan libera- maka azas kemanfaatan dan sikap pragmatislah yang digunakan masyarakat. Kebetulan sikap masyarakat tersebut masuk dalam sistim politik utility. Selain itu masyarakat saat ini cenderung menyukai sikap hedonis- sikap yang mengutamakan kesenangan-, dan sikap hedonis ini masuk dalam turunan sistim utility. Maka makin kuatlah bargaining position utility terhadap persamaan liberal dalam ranah sistim politik.

Lalu sampai dimana derajat kegunaan konfirmasi kaum falsifikasi dalam kasus kali ini? perlu dipertanyakan lagi konfirmasi demikian. Apabila kita melihat bargaining position sistim politik utility terhadap persamaan liberal, dapat tercermin suatu keangkuhan pada falsifikasi dan para peretas sistim persamaan liberal. Menerut mereka sistim yang telah dimodifikasi ini akan mengakomodir semua suara masyarakat, dan akan digunakan oleh masyarakat. Tetapi pada kenyataannya keadaan ini terbalik. Maka derajat konfirmasi tidak dapat mengesahkan suatu sistim teori atau sistim politik.

Posisi Konfirmasi dalam Falsifikasi.

Ilmu pengetahuan saat ini telah mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini ditunjukan dengan pesatnya kemajuan tekhnologi dalam kehidupan manusia. Kesejahtraan, kehidupan yang layak, kemudahan dalam berbagai bidang menjadi acuan mengapa ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang fundamental dalam masyarakat. Bahkan terkadang ilu pengetahuan ini merusak sistim agama dalam masyarakat. Banyak pertentangan yang terjadi mengenai hal yang demikian. Pertanyaan-pertanyaan mana yang lebih penting antara ilmu pengetahuan dan agamapun tak jarang saya dengar.

Disinilah posisi tawar yang dicanangkan oleh kaum falsifikasi. Sampai dimanakah kelayakan suatu ilmu pengetahuan dimata masyarakat? Memang kaum falsifikasi tidak menyinggung pergulatan antara agama dan ilmu pengetahuan. Tetapi metode yang digunakan—falsifikasi dalam merumuskan teori atau ilmu dimasyarakat bisa mengetengahkan berbagai pergulatan yang terjadi.

Alih-alih asas pebenaran dalam ilmu pengetahuan atau pergeseran antara agama, Popper mengungkapkan prinsip falsibilatas dalam ilmu pengetahuan. Artinya, ciri khas pengetahuan ilmiah bahwa dapat dibuktikan salah (it can be falsified). Kedigdayaan ilmu pengetahuan ini tidak serta-merta bahwa teori ini tidak memiliki kelemahan, karena teori yang baik mengharuskan memiliki kelemahan yang tinggi—derajat kesalahan yang tinggi.

Selain memiliki derajat kesalahan yang tinggi, ilmu pengetahuan yang layak menurut kaum ini adalah setelah ilmu pengetahuan mengalami berbagai percobaan atau eksperimen. Eksperimen inilah yang nantinya akan menghasilkan suatu teori yang akan layak atau tidaknya dalam masyarakat. Dalam proses sampai pada titik kelayakan, suatu ilmu akan di’legal’kan melalui proses konfirmasi atau falsifikasi. Disinilah peran konfirmasi dan falsifikasi dalam menentukan kebijakan teori apa yang akan digunakan dalam masyarakat.

Dapat dilihat konfirmasi memegang peranan yang cukup penting dalam falsifikasi. Tetapi apakah suatu teori yang layak itu diharuskan untuk dikonfirmasi? Ternyata tidak, perkembangan kemajuan ilmu atau teori yang berarti ditandai dengan dengan konfirmasi dugaan yang berani dan falsifikasi dugaan yang berhati-hati. Dugaan yang berani ada karena ilmu atau teori benar-benar memunculkan sesuatu yang baru, bukan suatu perkembangan ilmu yang bersifat ‘tambal sulam’.

Lalu bagaimana apabila dalam proses ekperimen tersebut teori lama yang akan bertahan paling akhir? Hal ini tidak memerlukan konfirmasi, karena teori lama itu sudah pernah dikonfirmasi ketika teori tersebut muncul pertama kali dalam masyarakat. Apabila suatu dugaan yang berani—teori yang diajukan untuk tandingan dengan teori lama difalsifikasi, maka apa yang kita ketahui dari semua itu tidak lain adalah bahwa suatu ide yang ada telah dibuktikan. Sehingga apabila konfirmasi dalam falsifikasi benar-benar terjadi, maka hal ini ditujukan untuk membenarkan dan mengabsahkan suatu teori baru yang dianggap benar-benar berguna dan membuat hidup masyarakat lebih baik.

Hal ini tidak lain karena diajukannya falsifikasi ditujukan untuk kebaikan ilmu pengetahuan yang bersifat informative. Anggapan ini juga diperkuat dengan pernyataan Chalmers, “… Andaikata saya besok mengkonfirmasi suatu teori spekulati (dugaan berani) yang menyatakan bahwa gaya grafitasi antara dua benda tergantung pada temperature mereka, dengan demikian memfalsifikasi proses teori Newton, maka saya akan memberikan sumbangan penting kepada pengetahuan ilmiah”, dia mengatakan demikian karena ada informasi baru yang diperoleh masyarakat dengan mengkonfirmasi suatu teori. Inilah yang merupakan gambaran ideal tehadap teori yang bersifat informatife dalam pandangan kaum falsifikasionisme.

Konfirmasi mempunyai tempat khusus dalam falsifikasionisme. Tetapi falsifikasi mempunyai ruang yang benar-benar penting dalam falsifikasionisme sofistikit. Tetapi hal ini tidak menghapus cap sebagai ‘falsifikasionisme’. Kaum falsifikasionis sofistikit tetap mempertahankan bahwa teori-teori dapat terfalsifikasi dan ditolak, sementara disangkal bahwa teori-teori akan pernah bisa ditentukan sebagai benar atau boleh jadi memang benar. Maka dalam hal ini kita dapat melihat, peran konfirmasi memang benar-benar diperlukan untuk menentukan duganan-dugaan baru.

Tetapi apakah yang memegang peranan peng-konfirmasi hanya dilakukan oleh para ilmuwan atau orang yang berkompeten dalam bidangnya? Ternyata tidak, Suatu keterangan-obserfasi (kaum falsifikasipun melakukan observasi dalam menentukan suatu ilmu) selalu harus dirumuskan dalam bahasa publik atau didepan publik, dapat diuji dan terbuka untuk dilakukan modifikasi atau ditolak. Pengamat individual boleh menrima atau menolak keterangan-observasi khusus. Maka bila kita bercermin dari pernyataan Chalmers tersbut, konfirmasi juga dilakukan oleh masyarakat, bukan hanya dilakukan oleh para ilmuwan.

Pergulatan Sistim Politik Utility dan Persamaan Liberal.

Utilitarianisme merupakan sistim politik yang menekankan pada prinsip kebermanfaatan. Adapun pencetus awal dari teori ini adalah salah seorangf filsuf zaman Helenisme, yakni Epikuros. Memang pada awal pemikiran ini meretas, Epikuros tidak secara spesifik menyebutkan tentang politik. Namun pemikirannya tentang ‘kebahagiaan manusia’ yang menjadi landasan timbulnya sistim politik utiltarianisme.

Konsep kebahagian dalam Epikuros ini disebut hedone (kenikmatan, kepuasan). Berasumsi dari pemikiran yang demikian, sistim politik utilitarianisme merangkai sistim politik yang berlandaskan ‘the great happiness of the greatest number’. Suara mayoritas yang mengambil alih kebijakan, dan suara minoritas harus mengikuti suara mayoritas. Hal ini disebabkan karena suara mayoritas akan memberikan kebahagiaan terbesar dalam masyarakat.

Utilitarianisme menuntut bahwa pengejaran pada kesejahtraan—baca kebahagiaan, atau kehidupan yang baik adalah sesuatu yang kita kejar alam kehidupan kita sendiri dan kehidupan masyarakat. Pencarian akan kesejahtraan atau kemanfaatan dilakukan tanpa pilih kasih, hal ini dilakukan untuk semua masyarakat. Maka kebahagiaan untuk semua orang dapat teralisasi dengan mencari kebahagian untuk jumlah terbesar.

Daya tarik yang demikianlah yang menjadikan promosi utilitarianisme sebagai sistim politik suatu negara. Promosi demikian dicanangkan untuk memotivasi keperihatinan yang melanda masyarakat sebagai makhluk yang berhak atas kebahagiaan. Utilatiarisme memastikan aturan-aturan dalam sistim negara memberikan sejumlah fungsi yang berguna bagi masyarakatnya, karena aturan-aturan itu ditujukan untuk mengejar kesejahtraan. Adapun aturan-aturan dibuat pemerintah untuk mensejahtrakan masyarakat.

Kebijakan yang diambil dalam mencetuskan sistim ini adalah demi memaksimalkan kesejahtraan. Hal sperti ini didefinisikan sebagai penyamarataan atau memberikan bobot yang sama pada kesejahtraan setiap orang, meskipun pada masyarakat yang tidak setuju. Rawlsapun juga mengatakan bahwa utilitarianisme pada dasarnya merupakan teori yang jenis kedua- yaitu teori yang mendefinisikan yang benar dalam pengertian memaksimalkan kebaikan atau kesejahtraan.

Penyangkalan Persamaan Liberal Terhadap Utility

Ketidakpuasan para pemikir politik konteporer—terutama John Rawls mengenai prinsip utility mengakibatkan mereka mencari jalan untuk menelurkan suatu sistim yang komperhensif, yang dapat mengakomodir seluruh masyarakatnya. Maka lahirlah sistim politik Persamaan Liberal.

Sistim politik ini lahir setelah mencoba untuk menutupi kekurangan yang dimiliki oleh utilitarianisme. Disinilah proyek Rawls tertuang, proyek persamaan kesempatan atau persamaan liberal yang diajukan Rawls untuk memperbaiki utilitarianisme. Kita memerlukan teori tentang yang fair (a theory of fair shares) sebelum melakukan perhitungan utility, karena ada batasan-batasan dalam individu dapat dikorbaknkan secara sah demi keuntungan orang lain. Jika kita memperlakukan orang secara sama, kita harus melindunginya dalam hak kepemilikan hak dan kebebasan tertentu. Sehingga jarogan yang dirayakan oleh utility ‘the great happiness of the greatest number’ mengakibatkan adanya suara minorotas. Keadaan seperti inilah yang mesti dirubah.

Persamaan kesempatan dan suara menjadi fondasi untuk mengukuhkan sistim politik ini dalam masyarakat. Dengan cara pembagian distributif yang merata inilah sistim politik persamaan liberal mengadakan promosi. Pembagian distributif ini akan mememakai sikap egalitarian—persamaan. Apabila distributif ini tidak sama dalam pembagiaanya, maka hal inipun akan menguntungkan pada mereka dipihak yang lemah—baca mereka yang kekurangan.

Gagasan utama Rawls adalah ‘semua barang-barang sosial yang utama –kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri—harus didisbudtrisikan secara merata, kecuali distribusi boleh tidak merata dilakukan apabila ketimpangan tersebut menguntungkan mereka yang kekurangan (bukan mayoritas).

Kenapa prinsip ini disuarakan? Hal ini dikarenakan jika utilitarianisme paling baik dilihat sebagai doktrin yang egalitarian, maka tidak ada komitmen yang berdiri sendiri untuk memaksimalkan gagasan kesejahtraan. Kaum utilitarianisme harus mengakui bahwa kita hendaknya menggunakan standar yang memaksimalkan hanya jika kebijakan itu merupakan perlakuan yang terbaik untuk memperlakukan orang secara sama. Tetapi apa yang terjadi bila kenyataan yang seharusnya—egalitarian tidak sesuai dengan jarogan utilitarianisme.

Inilah yang menjadi senjata utama konsep persamaan liberal versi Rawls untuk menjatuhkan utilitarianisme. Maka tak pelak lagi sistim politik yang demikian akan musnah dari cakrawala. Terhapusnya sistim politik utility ini juga diamini oleh banyak pemikir. Keyakinan terhapusnya utility disebabkan karena konsep kesbahagiaan ini malah akan mengakibatkan termaginalnya oleh sebagian kaum.

Keadaan Masyarakat Saat Ini.

Menurut saya, masyarakat saat ini cenderung menggunakan sistim politik utility. Keadaan demikian dapat dilihat dengan adanya berbagai kendala dalam merumuskan suatu permasalahan. Maka akhir-akhirnya sistim pollinglah yang akan diajukan dalam masyarakat. Sistim polling demikian sejalan dengan jarogan utama dari kaum utility. Selain itu apabila dalam ranah ekonomi, proses distributif juga mengalami kecacatan.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kymilka ‘mengingat bahwa perbedaan-perbedaan gaya hidup juga mempengaruhi pola distribusi’. Keraguan akan diberlakukannya sistim politik persamaan liberal disebabkan karena jarang masyarakat saat ini rela berkorban bagi mereka yang kekurangan. Mereka cenderung menyimpan harta dari pada memberikan pada mereka yang kekurangan.

Selain itu masyarakat saat ini cenderung menggunakan prinsip hedone dalam kesehariannya. Kesenangan dan kebahagian adalah kegiatan yang mereka cari. Sikap hedone itu sendiri merupakan turunan dari utilitarianisme. Maka lengkaplah bahwa konsep atau teori persamaan liberal tidak lagi dapat digunakan saat ini, karena masyarakat cenderung mengguanakan sikap dari utility.

Benang merah antara sistim politik dan konfirmasi dalam falsifikasi.

Dalam rangka berkembangnya ilmu pengetahuan (baik itu dalam bidang eksakta atau ilmu alam maupun sosial), yang terpenting bukanlah apa jawaban yang diberikan, melainkan bagaimana pertanyaan itu diajukan demi menjaga ke-validan ilmu pengetahuan. Mengapa pertanyaan tersebut dianggap sangat penting untuk suatu ilmu atau teori?

Bila kita melihat demikian pada saat ini, ada tiga alasan mengapa timbulnya alasan tersebut:

1. Secara histories, seperti yang diungkapkan dalam pendahuluan—bahwasanya teori politik adalah suatu cara untuk mengatur masyarakat agar hidup lebih baik, sehingga dalam tahap ini timbulah pertanyaan ‘apakah dasar kebaikan yang diajukan dalam teori politik utilitarianisme bisa diterapkan untuk semua masyarakat?’ atau ‘apakah konsep kebahagian yang diajukan dalam sistim politik utilitarianisme itu benar-benar mensejahtrakan masyarakat?’ .

2. Pertanyaan-pertanyaan demikian telah menimbulkan suatu konsep yang lebih baik daripada konsep yang sebelumnya. Yaitu teori politik utilitarianinisme belum tentu mendahulukan mensejahtrakan masyarakatnya, karena disebabkan oleh ada sebagian masyarakat minoritas yang terkorbankan. Dengan kata lain, timbulah suatu teori perkembangan dalam menanggapi hal yang demikian. Suatu evolusi diperlukan, dikarenakan sistim politik utilitarianisme tidak membuat kesejahtraan bagi asyarakatnya. Proses inilah yang dinamakan proses perkembangan.

3. Pertanyaan yang disebut nomer satu tidaklah hadir dalam masyarakat sehari-hari, karena masyarakat hanya hidup dengan dasar ‘bagaimana dia hidup’, dengan cara apa dia hidup’ dan lain sebagainya yang tidak bersangkutan dengan konsep kesejahtraan masyarakat. Maka pertanyaan-pertanyaan yang demikian hanya timbul dalam pemikiran para ilmuwan atau orang yang berpikir lebih maju.

Pada sejumlah pertanyaan diatas, maka peran ilmuwan atau para ahli politik menjadi suatu yang sangat imperative. Merekalah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk menempatkan masalah tersebut pada proposisi yang sebenarnya. Oleh sebab itu, mereka mempunyai suatu kewajiban sosial untuk menyampaikan pembaharuan sisitim politik yang lebih baru dan lebih baik dalam masyaraåkat. Adapun bahasa untuk menyampaikan pesan tersebut haruslah yang mudah dicerna oleh masyarakat. Maka pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk memverifikasi suatu teori dapat dimengerti dan digunakan oleh masyarakat. Lalu pada langkah selanjutnya, masyarakat baru mempunyai peran dalam menentukan sistim apa yang akan digunakan.

Sehingga sampailah pada tahap dimana suatu teori yang dapat digunakan oleh para ilmuwan dan masyarakat. Proses pertanyaan inilah yang dinamakan oleh kaum falasifiksionisme sebagai pengujian (observasi). Berbagai data yang telah dikumpulkan akan dilakukan sebuah pengujian. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui sampai dimana teori yang akan bertahan paling akhir adalah teori yang akan digunakan (yang baru memerlukan konfirmasi dan yang lama tidak). Kejadian ini tidak lepas dari tujuan falsifikasi, yakni pebenaran suatu teori, bukan seperti yang di’idap’ banyak orang, sebagai suatu proses penyalahan.

Konfirmasi hadir ditandai dengan melakukan hal-hal yang bersifat berani (dugaan berani). Begitupun dengan sistim politik persamaan liberal. Sistim ini lahir untuk menanggulangi sistim politik yang ada sebelumnya, yakni utilitarianisme. Maka yang terjadi adalah sistim politik utilitarianisme akan terfalsifikasi, dan persamaan liberallah yang akan digunakan. Tetapi apakah masyarakat saat ini menjawabnya dengan mengiyakan sistim politik persamaan liberal? Ternyata realita sekarang tidak menjawbnya dengan fasih. Masyarakat cenderung menggunakan metode poling untuk menjawab permasalahan yang terjadi. Sehingga lagi-lagi akan mengorbankan suara minoritas—sesuai dengan jarogan ‘the great happiness of the greatest number’, dan mayoritas tiranilah yang akan menentukan langkah-langkah dan berbagai kebijakan dalam masyarakat.

Mayoritas tirani disini ialah penentuan kebijakan bukan diambil berdasarkan oleh keputusan bersama— dengan mengambil asumsi suara masyarakat patut dirayakan. Ketika kematian suara dari minoritas masyarakat dilakukan maka akan membuat persamaan liberal jatuh kedalam titik kulminasi terbawah. Kemudian prinsip kebermanfaatan masyarakat lah yang akan muncul. Karena tidak semua masyarakat menyetujui prinsip distribusi persamaan liberal. Sehingga pada kontaradiksi inilah konsep persamaan liberal teraleanisasi dari sistim masyarakat. Keberadaan teori persamaan liberal telah pupus, dan prinsip utilitarianisme kembali mengeruak ke permukaan.

Lalu patut dipertanyakan ketika para pemikir dari kaum falsifikasi telah mengkonfirmasi suatu teori yang dianggap baru, dan lebih baik—baca persamaan liberal. Ketika realita mengatakan hal yang berseberangan dengan kesahihan suatu teori dalam masyarakat menurut kaum falsifikasi. Apa hal yang demikian masih perlu dipertahankan dalam sebuah tatanan masyarakat? Maka derajat konfirmasipun menjadi sebuah tanda tanya besar. Mengapa dengan semena-mena mengkonfirmasi teori baru dan memfalsifikasi teori lama yang dianggap usang dan tidak memberikan kelayakan dan kesejahtraan bagi masyarakatnya. Apakah teori lama—baca utility tidak mampu mensejahtrakan masyarakat? Ternyata pernyataan demikian, yang dianggap tidak mengakomodasikan kesejahtraan, mampu ‘berbicara’ dalam masyarakat dan diamini pula. Hal inilah yang menanyakan kembali konsep konfirmasi yang diajukan oleh kaum falsifiaksi.

Para pemikir politik konteporer dan para kaum falsifikasionisme telah mengalami kekeliruan. Karena apabila mereka beranggapan bahwa teori yang lama dan telah usang akan dijauhi masyarakat. Kecenderungan saat ini menjurus pada penggunaan teori lama, yakni utilitarianisme Sehingga mereka yang menolak utilitarianisme dengan mengatakan bahwa kelemahan-kelemahannya sangat banyak sehingga tak pelak lagi utilitarianisme akan menghilang dari cakrawala ini sunguh-sunguh salah.

Tesis

Hal-hal yang telah terkonfirmasi terkadang membutuhkan latar belakang dalam pembentukan suatu teori. Maka keterbatasan inilah yang mesti dihadapai oleh kaum falsifikasionis. Latar belakang menjadi suatu momok dalam falsifikasi. Derajat kegunaan tidak bisa lepas dari historisitas masyarakat. Maka apabila masyarakat belum siap menerima sistim politik yang telah dimodifikasi – baca persamaan liberal ,maka azas kemanfaatan dan sikap pragmatislah yang digunakan masyarakat. Kebetulan sikap masyarakat masuk dalam sistim politik utility. Selain itu masyarakat saat ini cenderung menyukai sikap hedonis- sikap yang mengutamakan kesenangan-, dan hedonis itu masuk dalam turunan sistim utility. Maka makin kuatlah bargaining position utility terhadap persamaan liberal dalam ranah sistim politik.

Disinilah dapat kita lihat, bahwa suatu teori yang lebih sempurna dan telah dikonfirmasi oleh para ilmuwan belum tentu bisa meyakinkan masyarakat untuk menjalankannya. Sehingga apabila suatu teori akan musnah dan hilang dari cakrawala karena memilki banyak kelemahan, itu salah dalam ranah politik. Masyarakat akan lebih suka menjalankan yang lama apabila teori itu lebih “gampang” digunakan (mana suka). Sehingga pemikiran dari Popper mengenai falsifikasi tidak dapat berlaku dalam ranah sosial—khususnya politik.

Daftar Pustaka.

Chalmers, A F. Apa itu yang Dinamakan Ilmu?. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.

Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Rawla, John. A Theory of Justice. Oxford: Oxford University Press, 1971

Will, Kymlika. Pengantar Filsafat Politik Konteporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Verhaak, C dan Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja-Kerja Ilmu. Jakarta: Gramedia. 1989.